Guru Aini dan Perahu Kayu yang Menunggu Sepasang Sepatu Baru





 
Novel Guru Aini Karya Andrea Hirata


Ngik Ngok ... Ngik Ngokkk 
Sayang anak - sayang anak 

Demikian bunyi suara yang tertinggal di kepala saya setelah kemarin, setengah hari menamatkan buku "Guru Aini" setebal 294 halaman. 

Sampai saya menuliskan kisah ini, suara itu masih hilir mudik di ruang pikiran saya. Saking kerasnya, sampai saya tidak bisa mendengar suara hati saya yang lain. Sepertinya Guru Aini pula yang menuntun jari jemari saya menari lincah, merenda kata demi kata untuk menjalin makna yang tersibak dari kemegahan jalan ceritanya. 

Baiklah, untuk sekedar berbagi bersama para pengunjung blog Cikgu Tere, malam ini saya akan menghadiahkan pesan istimewa dari kisah Guru Aini, khususnya bagi calon guru dan guru - guru lain, seperti saya, Anda, dan kita semua. 

Guru Aini, pada bagian covernya saya mendapati tulisan ini. Selain itu ada juga gambar sepasang sepatu olahraga berwarna putih dengan strip garis merah 3 di bagian sampingnya. Kondisi sepatu itu bukan lah sepatu baru. Namun sepertinya sudah bertahun - tahun digunakan. Bahkan jika ditelisik, telapak bagian kirinya lebih aus dibandingkan yang kanan. Mengapa demikian ? 

Saya berpikir bahwa Guru Aini seperti yang terbaca dalam cover buku itu adalah sosok sentral dalam ceritanya. Namun rupanya, sang maestro menggunakan sebutan itu untuk seseorang yang lain. Aini dan tokoh sentral itu berbeda nama, berbeda karakter, namun pada satu titik mereka pada akhirnya dibuat untuk bertemu satu dengan yang lain. Tepatnya di sebuah ruangan yang disebut dengan ruangan Bu Desi. Ruangan itu ada di ujung lorong bangunan ruang guru. Tak ada murid - murid yang berani dekat ruangan itu. Sering Aini mendengar kelakar dari murid - murid, kata mereka, bahkan setan tak berani masuk ruang Bu Desi itu. (Guru Aini: 92)

Bu Desi, adalah gambaran sosok idealis yang berpendirian teguh untuk mencerdaskan murid - muridnya dengan matematika. Berbekal keilmuan yang dipelajarinya serta tekadnya yang keras, Guru Desi, yang akhirnya menyakini dirinya ditakdirnya mengajar matematika sejak lahir, menambah namanya Desi Mal. 

Sebagai perempuan, cinta pertamanya adalah matematika. Karena Bu Marlis yang akan menjentikkan jarinya khas seorang biduanita organ tunggal sudah memenjarakan seluruh mimpi dan cita - citanya pada satu kata yaitu Matematika. Sehingga ketika cinta hadir dalam bentuk yang lain, sesosok manusia, pun tidak sanggup menghentikan laju mimpinya itu. 

Sepasang sepatu olahraga yang kelak diangkatnya sebagai jaminan di atas sumpahnya, selalu terikat kencang di sepasang kakinya hingga bertahun - tahun dan menambah kesan eksentrik selain luka tiga jahitan di atas alis dan tangan yang bengkok. Ternyata sepatu itu bukanlah hanya sebagai sepatu, melainkan idealismenya sendiri. 

Dalam perjalanan, ternyata diketahui bahwa usia waktu adalah 40 miliar tahun. Namun, butuh waktu lama bagi Guru Desi untuk memenuhi sumpah sepatunya. Sempat, ia jatuh cinta pada usaha yang dilakukan Debut Awaludin, seorang genius matematika, namun seperti cinta sebelumnya, sang murid membuatnya kecewa sampai tak berujung karena masa itu, Guru Desi kalah pamor dengan politik sang murid yang memilih menjadi bagian dari rombongan 9 dan pada akhirnya mengekor satu per satu anggotanya untuk DO. 

Namun, rupanya seperti konsep - konsep matematika yang saling terkait, kehidupan lama pun akan singkron dengan kehidupan masa kini, di mana salah satu anak dari anggota rombongan 9 yang selalu menolak matematika, kembali harus berhadapan muka dengan pelajaran ini. 

Adalah Aini, yang sering merasa sakit perut saat pelajaran matematika sejak Kelas 3 SD dan sering menerima tugas menghapus papan tulis di hari yang bukan bagian piketnya. Pada akhirnya secara histerik, dia menyadari bahwa penyakit ayahnya adalah penyebab dia harus beralih dari Aini yang tidak bisa matematika menjadi Aini Cita - Cita dokter. 

Aini dan Guru Desi adalah bagian yang tidak bisa terpisah. Hari - hari Aini menjadi sebuah giat baru bagi Guru Desi dan idealismenya. Betapa tidak, berbagai cara harus dipikirkannya agar Aini yang bebal matematika, bisa keluar dari penjara biner (bilangan 1 0 1 0 ) di buku ulangannya. 

Ngik Ngok Ngiiikk Nggookkk ... Sambil menjajakan mainan jualan ibunya, Aini berpicu dengan waktu. Ia sangat menyayangi ayahnya dan selama 3 tahun di SMA, Aini menghabiskan arang di rumahnya untuk mencoret tembok rumah kontrakan mereka dengan hitungan - hitungan matematika, sampai suatu saat dia menjadi seorang kampiun matematika. 

Badai rupanya kembali menghampiri Aini, kali ini ia akan mengingat bahwa matematika itu menjerumuskannya dalam kesengsaraan dan penderitaan, persis seperti yang dikatakan Guru Desi, saat ia mengadu nasib dengan mengikuti tes masuk fakultas kedokteran, Aini harus pasrah karena alasan ekonomi. Namun, rencana Tuhan, tidak mudah ditaksir dengan matematika, orang - orang baik dari masa lalunya menolong Aini mewujudkan cita - citanya. 

"Seorang murid akan bahagia jika mengerti apa yang dipelajarinya, sedangkan guru akan bahagia jika menemukan cara agar muridnya mengerti apa yang dipelajarinya" 

Aini cita - cita dokter, kembali melarikan sepasang sepatu olahraga baru menjumpai sebuah perahu kayu yang menunggu Guru Desi, siap mengombang - ambingkan mimpi dan tekad besarnya. 

------
Sahabat Cikgu Tere, beranikah kita bertindak seperti Guru Aini (baca : Guru Desi) untuk memikul tanggung jawab kita sebagai guru, menyambut setiap murid - murid yang dipercayakan kepada kita dengan segala keterbatasan mereka ? 

Mengajar itu mudah, namun itu bukanlah satu - satunya tugas kita. Tugas yang utama adalah mendidik murid - murid. Penting sekali menempatkan diri kita dengan tepat dalam kehidupan murid - murid kita. Karena jika kita bisa menempatkan diri dengan tepat, maka kita pun akan mudah menemukan posisi mereka dalam pembelajaran yang kita bawakan. 

Idealisme dalam profesi itu penting, namun bukan berarti memenjarakan  potensi lain yang mungkin masih perlu kita umpan agar ia bisa naik ke permukaan. Ingat, kesuksesan pendidikan, bukanlah karena peran tunggal seorang guru. Ibarat sebuah perahu kayu yang selalu siap menunggu, maka kapal besar bernama Indonesia juga selalu menunggu bukti bakti kita. 

Maka, kencangkanlah ikatan sepatumu masing - masing, agar badai sekuat apapun tidak akan menjatuhkanmu dari buritan. Condongkanlah telingamu untuk setiap kalimat sapaan di pagi dan siang hari sebagai pembuka dan penutup pembelajaran yang selalu didambakan oleh setiap muridmu. Sebab, kita tidak akan pernah tahu, di kelas kita, akan ada Aini - Aini lain yang menganggap bahwa gurunya adalah segala - galanya bagi masa depannya. 


Belum ada Komentar untuk "Guru Aini dan Perahu Kayu yang Menunggu Sepasang Sepatu Baru"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel